Salahkah
Demokrasi
Penulis:
Panji Anugerah
Ini adalah jalan yang kita pilih berat atau
susahnya itu harus kita tanggungjawabi bersama. Demokrasi Hadir untuk memenuhi
hak berbicara, hak tolak, hak jawab. Leluhur kita mengorbankan segalanya agar
tegaknya Demokrasi Pancasila di Negri ini. Demokrasi sejatinya adalah
penyeimbang antara suara-suara kaum elit dengan suara proletar. Bebas berbicara
dalam demokrasi bukanlah bebas sebebas-bebasnya tapi ada batasan kebebasan
tersebut yaitu Nurani.
Kita terkadang salah mengaplikasikan
demokrasi, kita terlalu kebablasan. Demokrasi kita jadikan kambing hitam ketika
argumentasi yang sedikit memojok, kita membela terkadang membela seperti orang
yang terombang-ambing, mengambil peran dengan sesuka hati menghalalkan segala
cara agar terlihat kita bukan salah.
Kita belum dewasa menyikapi demokrasi,
Negara ini rawan konfil horizontal, agama dan etnis dijadikan peluru untuk
menyerang kaum-kaum tertentu. Demokrasi dan HAM dijadikan dalih bagi
golongan-golongan yang tersudutkan.
Memang benar kita Negara terbesar yang
menggunakan Demokrasi sebagai pahamnya. Tapi kita belum dapat mengaplikasinnya
dengan benar, Demokrasi kita masih salah.
Kita masih salah mengaplikasikan Demokrasi.
Coba kita perhatikan, kita bangun tidur pagi hari telah melihat pertentangan di
TV gara-gara demokrasi, kita berangkat ke kantor telah mendengar orang berdebat
akibat demokrasi. Tidak pernah habisnya! Apakah Negara ini carut marut karena
Demokrasi?
Kita belum dewasa menyikapi demokrasi.
Ketika adanya pemilu di daerah-daerah yang tingkat kesenjangannya tinggi pasti
akan rawan konflik horizontal. Penyebabnya sangat dasar karena tidak satu
partai atau beda jagoan ketika pemilu. Itu apa penyebabnya? Penulis berasumsi
Demokrasi akan berjalan lancar dan sehat ketika rakyat yang menjalankan
Demokrasi tersebut telah mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
Rawannya konflik pada pesta demokrasi itu
dikarenakan para demokrator tidak menjalankan tugas dan fungsi demokrasi secara
sehat. Penulis contohkan: di suatu daerah ada seorang pasangan calon sedang
berkampanye, mereka membagikan uang Cuma-Cuma kepada rakyat yang menghadiri
proses kampanyenya, dan kebetulan rakyat yang menghadiri itu adalah
golongan-golongan yang untuk keperluan sehari-hari saja belum cukup. Dari
sinilah timbul benih-benih peradaban demokrasi yang tidak sehat.
Ketika ilustrasi yang penulis sampaikan
diatas tadi, berjalan dengan lancar, tanpa kita sadari secara tidak langsung mindset
rakyat tersebut akan berubah secara fundamental. Jadi keesokan harinya jika ada
paslon yang berkampanye tanpa mengiming-imingi angka-angka masyarakat akan
enggan menghadiri. Permasalahan ini terus berlanjut dan menjadikan masyarakat
memandang suatu kampanye adalah alat untuk mencari uang. Kandidat yang
berkualitas akan kalah telak jika tidak mempunyai uang. Bagaimana jika paslon
yang menghamburkan uang tersebut yang terpilih sebagai pemenang?
Permasalahan ini seakan beranak pinak yang
menjadikan peradaban demokrasi menjadi sangat kotor. Bagaimana seorang pemimpin
ingin mensejahterakan umatnya sementara tujuan untuk menjabat adalah
mengembalikan uang yang habis terpakai ketika kampanye.
Ini
adalah kelemahan Demokrasi ketika kuantitas sangat berharga dibanding kualitas.
Suara seseorang dalam prinsip demokrasi adalah Satu atau sama rata. Ketika ada
seseorang memilih paslon karena melihat visi dan misi, bahkan telah ditelaah
secara komprehensif rekam jejak, dan
bahkan telah di investigasi secara berbulan-bulan nilai suara tersebut akan
tetap satu (1). Begitu juga dengan seseorang yang memilih karena di suap/
diberikan uang suaranya akan tetap satu.
Demokrasi sangatlah tidak adil jika tidak
dipergunakan secara sehat. Indonesia adalah Negara berkembang jika
dikalkulasikan hampir 70% penghasilan penduduknya masih dibawah taraf standarisasi.
Demokrasi akan berjalan sesuai hakikatnya jika masyarakat yang menjalankan
demokrasi itu tidak memikirkan uang untuk makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar