Total Tayangan Halaman

Kamis, 29 November 2018

Online Shaming

ONLINE SHAMING
Write by Panji Anugerah

Apa itu Online Shaming? 
Online Shaming ialah perilaku mengolok-olok, menghujat, mempermalukan orang lain di media online. Online Shaming bermula karena adanya ketidaksepahaman dengan seseorang atau terkadang keinginan untuk meluruskan hal yang dianggap salah, yang tanpa disadari mempermalukan seseorang. sebagai contoh adanya berita kebijakan kontroversial dari pejabat politik.
Berita kontroversial dari pejabat politik ini akan menjadi perseteruan di kalangan netizen. ada yang pro dan ada yang kontra. namun yang disayangkan, perseteruan netizen ini bukan lagi terkait kebijakan atau hal yang substansif dari pejabat politik  melainkan perseteruan sentimen yg akan merusak perdamaian, seperti sindir menyindir terkait agama, ras, suku, daerah bahkan pendidikan dan strata sosial.
Online Shaming semakin marak beredar. bisa kita lihat disetiap kolom komentar public figure pasti ada yang komentar provokasi baik yang dilakukan oleh akun bodong maupun akun real. online shaming ini terjadi akibat kedangkalan berfikir dan kebebasan.
sejatinya media hadir untuk mempermudah akses bahkan aktivitas sehari-hari seseorang. namun belakangan ini akibat kedangkalan berfikir dan kebebasan, media berubah sebagai alat kebencian tempat seseorang mempermalukan orang lain bahkan menjadi panggung perpecahan.
asumsi sampai saat ini kedangkalan berfikir dan kebebasan adalah penyebab utama. kebebasan dalam media hanyalah ilusi karena dengan kebebasan itulah menjadi ketidakbebasan. bahasa sederhananya kebebasan menjadi alat untuk tidak bebas. kebebasan itu adalah fatamorgana dalam media. memang perlu kiranya ada panduan ataupun regulasi atau hal-hal yang bersifat intensif yang dilakukan pemerintah yang bisa menjadi cerminan bagi masyarakat.
karena sejauh ini UU yang sering dilanggar ataupun diabaikan adalah UU ITE, dapat ditarik kesimpulan bahwa memang masyarakat butuh arahan menjadi seseorang yg cerdas dalam bermedia. jika pemerintah masih menutup mata terkait ini lama2 panggung permusuhan ini akan semakin meluas dan meluber kemana-kemana.
media berpengaruh dalam berpikir masyarakat, karena apa yang ada akan menjadi biasa dan akhirnya menjadi kebudayaan baru masyarakat.
dahulu, sebelum adanya media tulis masyarakat menjadikan daya ingat sebagai sarana untuk menyimpan hal-hal yang dianggap penting. namun ketika media tulis hadir masyarakat malas untuk mengingat.
dahulu, sebelum hadirnya media cetak masyarakat berbondong-bondong ke perpustakaan untuk membaca buku, setelah membaca buku masyarakat mendiskusikan apa yang dibaca. namun, ketika media cetak telah hadir masyarakat membaca hanya dirumah dan menelan hasil bacaannya mentah-mentah tanpa ada diskusi yang rutin.
dan sekarang, jamannya media teknologi, media instan. masyarakat telah malas untuk mengingat, menulis, membaca, berdiskusi. masyarakat lebih cenderung mengikuti, memalsukan dan mengolok-olok.
Teknologi yang semakin berkualitas bertolak belakang dengan kebudayaan yang berkualitas. akhir-akhir ini kita mendengar adanya duel maut gara-gara perbedaan pendapat di media. sesadis itukah media sehingga ada yang memakan korban sekejam itukah online shaming? hingga nyawa melayang.

Kamis, 13 September 2018

Opini Kebangsaan



Buzzer Media
Penulis: Panjianugerahp@gmail.com

Tiba-tiba kita terpecah belah, yang satu dianggap anti Islam dan satu lagi disebut Islam radikal. Aku yakin kita tak seperti ini, jiwa kita tidak ada jiwa perpecahan, jiwa kita suci. Siapa bilang kita terpolarisasi? Hanya saja terjebak dalam arus itu.
Percaya atau tidak sebenarnya kita telah masuk dalam drama kolosal politisi. Namun kita terlambat menyadarinya. Sudah terlanjur dan akhirnya kita malu untuk saling bermaafan.
Sudah terlanjur basah adagium modernnya, di tengah malu kita ini tiba-tiba ada yang menyusup dengan menggiring opini kebencian melalui dunia sebelah namun kita entah kenapa seringkali percaya informasi dunia sebelah daripada dunia yang kita tempati ini.
Dunia sebelah yang dimaksud adalah dunia maya. Dunia yang didamba-dambakan banyak orang. Dunia yang tak mungkin bisa ditempati namun bisa menjadi patokan hidup seseorang. Aneh sih, namun karna telah tergilas kita kebanyakan telah menganggap semua itu hal yang lumrah.
Peradaban saat ini banyak dimulai dari sana, akar dan ujung masalah terkuak hingga rekonsiliasi harusnya dari sana. Namun itulah kita tidak bisa memanfaatkannya. Sudah banyak yang terbalik, hingga budaya malupun terbalik. Contoh sederhananya ketika perpecahan diumbar namun pada saat persatuan banyak yang malu mengumbarnya, aneh kita ini atau dunia sana yang aneh, entahlah.
Namun aku berpikir kita lugu namun terlalu pintar hingga mudah tergiring dunia sana tapi sangat selektif dengan dunia yang ditempati. Apa karna dunia sana belum pernah ditempati hingga menimbulkan kepercayaan yang baik atau karna memang tempat tinggal saat ini tetangganya banyak yang pembohong?
Tak terlepas dari baik sangka dan buruk sangka, kita harus mengakui ada sosok buzzer yang telah mengobrak-abrik pikiran dengan tanpa izin. Buzzer kali ini tidak hanya mampu mengolah isu di media namun telah masuk di dalam kehidupan.
Buzzer hari ini semakin leluasa, semakin terlihat adu domba sana sini. Namun banyak dari kita tidak pernah menyakini itu, malah sang korban (Islam radikal dan Anti Islam) yang terus diteriaki, apa tidak menjadi kacau? Kita semestinya yakin golongan yang anti Islam dan Islam Radikal itu hanya simbolik dari apa yang buzzer kerjakan.
Jika diizinkan untuk berbicara frontal, buzzer ini yang seharusnya diteriaki. Pandai-pandainya ia merusak persatuan karena politik kekuasaan. Lebih dari itu buzzer telah merusak harmonisasi yang telah berabad-abad dibangun.
Sejarah telah mencatat bangsa ini diusahakan oleh manusia yang beragam, tak pernah jadi pertanyaan apalagi menjadi masalah apa latar belakang namun yang pasti kita satu tubuh kita satu rahim yang tanpa pamrih berjuang menegakkan persatuan di tanah surga yang tongkat bisa jadi tanaman.
Saya teringat beberapa saat yang lalu, ketika teman saya sebegitu terpukulnya melihat pemimpin idolanya dimaki-maki di dunia maya. Ia sampai berniat untuk mencari siapa-siapa saja yang merusak citra pemimpinnya itu bahkan ia rela berdarah-darah, Sebegitukah? Rela perang saudara? Dalam hati saya berkata, ini adalah korban buzzer media.
Siapakah engkau? Dimanakah engkau sekarang? Yang beraktivitas sebagai buzzer mohon kembalikan persatuan yang telah terpolarisasi ini. negara ini telah banyak mengandung beban, utang menggunung, anak bangsa masih banyak yang tak bergizi. Jika ingin mencari kekuasan jangan begini caranya, kasihan bagi mereka yang belum paham, ini merusak peradaban dan pastinya akan mengurangi vitamin Demokrasi kita.
          

Kamis, 30 Agustus 2018

Opini Kebangsaan


Kita Bukan Bangsa Yang Terluka

            Ada sebuah luka yang semakin menganga yang dialami bangsa ini, luka itu terus semakin meluber keseluruh tubuh dan mungkin telah masuk stadium 4, parah? Bisa jadi, jika tidak segera diobati pembuluh darahnya akan pecah. Bangsa ini mengalami penyakit komplikasi yang diakibatkan oleh tubuhnya sendiri. Ketidakpercayaan sesama anak bangsa meluas kemana-mana, saling menganggap diri paling benar dan sangat mudah menyalahkan orang lain.
            Penyakit ini berdampak dengan turunnya kualitas semangat hidup. Siapa aktor dibalik penyakit ini? Tak usah jawab, cukup getarkan hatimu jangan sampai pertanyaan ini menambah luka bangsa. Akhir-akhir ini rakyat mengalami situasi yang tak bisa dielakkan konflik antar anak bangsa semakin murah dilihat, pertunjukan drama politisi semakin ramai, Bangsaku terluka?
            Ada juga kejadian lucu tersaji di alam demokrasi, ketika banyak mulut tersumbat dan disumbat saat ingin berbicara, kebebasan beragama dihadang, kebenaran seolah-olah hanya milik satu orang. Sampai kapan seperti ini? Dulu tak ada yang merasa paling benar, dulu tak ada yang merasa paling berjuang, dulu tak ada yang saling menyalahkan padahal mereka telah nyata seorang pahlawan. Tapi kenapa kita yang belum ada berbuat malah merasa yang paling berjasa?
            Kini, mental sok berkuasa telah merongrong keseluruh elemen bangsa yang menjadikan bangsa ini darurat disegala lini. Belum lagi kekayaan yang selama ini dibanggakan malah dijadikan senjata perpecahan, yaitu perbedaan. Ya perbedaan. Perbedaan kini bukanlah menjadi hal yang indah bagi bangsa ini. Jikalau ingin berargumen harus melihat tempat dulu kalau tidak, bisa masuk penjara.
            Kini, banyaknya perbedaan malah menjatuhkan moral bangsa. Kenapa tidak? Sedikit-sedikit berperang untuk benar. Perbuatan yang tidak benar ini semakin candu dikalangan anak bangsa, padahal menyalahkan oranglain itu tidak baik jangankan menyalahkan membenarkan diri sendiri saja tidak boleh. Belum lagi dengan kepercayaan, kita krisis itu. Sesama saudara setanah air kita mudah buruk sangka, kita lebih percaya dengan aseng. Siapa kita ini sebenarnya? Apakah kita satu nusa namun bukan satu bangsa?
            Kepercayaan kita sangatlah lemah, hegemoni streotip terus mengalir disekitar kita. Terkadang aku tak habis pikir, apakah mungkin seseorang yang satu rahim, satu ibu dan satu rumah tidak saling memercayai.
            Merah putih yang dikibarkan itu bukankah pertanda bahwa darah dan tulang kita sama? Bukankah para pendahulu rela bertaruh merah putih raganya untuk persatuan kita? Semakin lama kutuliskan coretan ini semakin buat bingung dan bertanya , aku ini siapa? Kamu ini siapa?
Sudahlah!
            Bangsa ini masih memiliki nafas, masih dapat hidup lama, tak usah cari apa obat untuk mengobati lukanya, cukup kamu perbaiki hubunganmu dengan Tuhan dan rakyat, lukanya akan sembuh dengan sendiri karena kita bukan bangsa yang terluka!
Bangsa ini dipertaruhkan dengan hidup, dijihadkan atas nama agama karena bangsa ini adalah bangsa pemenang, bangsa ini suci dan pastinya bangsa ini adalah titipan yang memiliki fitrah yang harus dijaga.    

Sabtu, 21 Juli 2018

Peran media begitu besar


Media, Peranmu Begitu Besar
Penulis: Panji Anugerah

Sore itu selepas sholat ashar, ada segerombolan anak-anak yang begitu riuh dihalaman mesjid. Mereka meniru beberapa adegan yang sedang viral di media, adegannya memang tidak salah tapi faedahnya tidak ada. Saat diamati tujuan mereka hanya satu, ingin populer!
Belakangan ini, hasrat untuk menjadi populer semakin menjadi-jadi di kalangan anak-anak. terlebih gadget sangat mudah dijangkau. Tantangan besar untuk kita semua? Ya ini adalah tentangan besar untuk kita semua. Ketika dicermati secara mendalam bahwasanya kemajuan teknologi yang begitu pesat ini dimanfaatkan segelintir orang untuk merusak perilaku generasi muda. Terlihat saja, mulai dari aplikasi ataupun fitur-fitur yang mengundang anak-anak tersebut melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat atau bahkan menyimpang.
            Menelisik lebih jauh, ini tak lain adalah peran media. Begitu kencang dan mematikan. Media saat ini bukan hanya berfungsi sebagai sarana informasi tetapi mampu membangun suatu budaya baru bahkan peradaban baru. Jadi tidak heran, jika anak-anak saat ini lebih maju, lebih dewasa dan mungkin lebih hancur moralnya.
            Konten di media yang masih banyak dipenuhi hal-hal tidak bermakna dan tidak berkualitas. Gagalnya konten media sebagai representasi dalam pembinaan moral anak. akan menciptakan anak yang tidak berkelas dan tidak bermoral. Belum lagi tayangan televisi yang semakin hari semakin tidak bermutu. Pekerja media saat ini lebih mementingkan rating daripada memberikan tayangan yang berkualitas.    
            Hal ini telah menjadi perbincangan hangat pengamat ataupun aktivis-aktivis pendidikan. Adalah hal yang kontradiktif jika berbicara penggunaan media dan larangan memakai media kepada anak. media sejatinya bersifat netral, akan menjadi bermanfaat jika user dan penggunaannya di isi untuk hal-hal yang positif. Begitu juga sebaliknya, media akan menjadi hal yang buruk jika dipergunakan untuk sarana hal-hal yang bersifat negatif.
            Tak bisa dipungkiri, menggunakan media secara cerdas butuh pengetahuan dan pengalaman. Karena ini menyangkut kebiasaan dan kebudayaan setempat. Karena standarisasi positif dan negatif tersebut adalah bagian dari suatu norma di dalam suatu masyarakat. Sudah saatnya pemanfaatan media ini dibarengi dengan pendidikan yang intensif dimulai sejak dari keluarga hingga lingkungan formal seperti sekolah, pesantren dan sebagainya.
            Harapannya dari pihak pemerintah, pengamat dan pekerja media harus berkolaborasi dalam menumbuhkan kesadaran bermedia yang baik dan cerdas, terkhusus untuk generasi muda (anak-anak-remaja). Karena apa yang media tampilkan saat ini akan menjadi platform bahkan  sebagai cara hidup seseorang kelak. Seperti kata pepatah jika ingin melihat kualitas suatu negara maka lihatlah tayangan di medianya.
Peristiwa anak seperti yang dikisahkan diatas bukanlah hal yang baru, namun telah banyak ribuan anak yang melakukan bahkan lebih parah dari kisah yang diatas. Tetapi masyarakat kita, aktivis, praktisi bahkan pemerintah kita memandang hal tersebut bukan sebagai ancaman. Ya, mungkin ada benarnya kali ini tidak ada ancaman 3-5 tahun lagi bagaimana? Apakah tidak kita pikirkan? Kelemahan kita seperti ini, jika belum terjadi hal-hal yang tidak di inginkan kita hanya berdiam diri atau memandang tersebut dengan sebelah mata. Jika telah terjadi, baru sibuk dan saling menyalahkan satu sama lain. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?