Total Tayangan Halaman

Jumat, 03 September 2021

Yang Mesti Diperhatikan Dalam Pernikahan

Nikah Muda Baik, Tapi

Penulis: @panjianugerahp 


Ada ketidakseimbangan informasi bila berbicara nikah muda. Tentu tujuan yang menyampaikan bahwa nikah mudah; indah, indah dan indah  adalah hal yang baik. Kemungkinan ia khawatir dengan pergaulan anak muda sekarang, untuk menjauhkan mereka dari bahaya pacaran dan fitnah zina.

Disampaikan bahwa nikah muda itu merupakan anjuran dari Rasulullah, ini benar. Merupakan sunnah yang harus ditaati, ini benar. Namun bila mewajibkan dan membabi buta, bahwa nikah mudah itu harus dilaksanakan. Inilah yang agaknya mesti kita kunyah-kunyah dulu.

Benar adanya bila para sahabat itu kebanyakan menikah muda. Tapi mesti kita perhatikan dengan realitas sosial yang ada. Bahwa mereka itu menikah, bukan karena muda saja, melainkan juga sudah matang dalam iman, prinsip dan visi.

Kita harus menyadari secara kompleks bahwasanya para sahabat menikah di usia belia bukanlah tentang masalah usia saja. Melainkan sebuah kematangan diri. Mereka terbentuk dan dibentuk dalam lingkungan Islam yang kaffah dan mendapatkan keilmuan yang begitu dalam. Sehingga mereka menjadi cepat dewasa dalam berpikir dan bertindak.

Menikahnya mereka di usia belasan itu bukan perencanaan yang tiba-tiba. Melainkan sudah diprogramkan orang tua dan lingkungannya sejak mereka masih belia.

Beda dengan kita yang hari ini menjadikan nikah muda itu sebatas trend. Di satu sisi merupakan hal yang positif ketika kebaikan menjadi trend, namun di sisi lain kita mesti menyampaikan bahwa Islam itu dijalankan bukan karena trend namun karena keimanan yang bersemayam di dada.

Kita berharap menikah itu bukan sebatas keinginan seksual melainkan juga hasrat membangun tatanan masyarakat sosial yang berperadaban. Ketika rumah bercahaya, maka lingkungan itu akan bercahaya.

Saya teringat nasihat atau himbauan Dr Majid Irsan Al-Kirani dalam bukunya (Model Kebangkitan Islam: 2019 cet II) “Kepada segenap kaum laki-laki dan wanita dari umat ini, agar memahami sunnatullah az-zaujiyyah (berpasangan) yang mengatur hubungan dua jenis kelamin dengan asas saling melengkapi antara prinsip akhlak dan estetika. Mengabaikan sunnatullah ini akan berakibat pada munculnya kekacauan dan guncangan dalam hubungan tersebut, dan akan mengubah jerih payah pasangan suami istri menjadi amal yang tidak shalih, yang mengakibatkan terjadinya kemandulan sosial dan kesempitan Hidup.”

Bila menikah diniatkan karena Allah, dilandasi dengan ilmu, dan diarahkan oleh visi hasilnya akan dahsyat. Lihatlah bagaimana seorang manusia biasa, menjadi dimuliakan Allah berkat keluarga. Dalam al-Quran hanya ada dua nama manusia biasa yang Allah abadikan menjadi nama surah. Al-Imran dan Luqman. Saat Allah mengabadikan sesuatu, tentu karena ada hal yang istimewa.

Keluarga Imran menjadi model ideal keluarga muslim. Bersama istrinya: Hannah ia mampu melahirkan keturunan-keturunan yang mulia. Melahirkan Maryam sebagai wanita yang Allah sucikan, dan dari rahim sucinya Maryam lahir seorang Nabi yang bernama Isa As.

Begitu juga bila kita lihat pahlawan-pahlawan Islam, hampir bisa dikatakan semua mereka itu tercipta dari keluarga yang dinaungi cahaya-Nya.

Sementara hari ini wanita-wanita muslimah seakan mandul dalam melahirkan pahlawan dan pembaharu agama ini. Apa sebab, tidak ada visi dalam pernikahan. Hari ini menikah hanya sebatas status saja, tugas peran suami ia tidak mengerti. Apa itu hak dan kewajiban istri ia tidak paham. Sehingga hari ini kita melihat para generasi ini, cepat tumbuh dan berkembang fisiknya namun lambat kedewasaan berpikirnya.

Tidak bisa pula untuk kita sangkal, bahwa hancurnya lingkungan hari ini, maraknya kriminalitas di tingkat generasi muda, merupakan  buah dari tidak berhasilnya pendidikan dan penanaman akhlak di dalam rumah. Padahal idealnya, generasi muda itu adalah ujung tombak peradaban. Bahkan Islam sendiri dibangun dan diperjuangkan anak-anak muda.

Sungguh sangat menyedihkan. Saat agama hanya dijadikan sebagai ritual. Belakangan ini ada kebiasaan baru yang membudaya di masyarakat. Yaitu tentang pre-wedding; berpoto sebelum menikah. Mirisnya potonya bukan sekadar foto. Melainkan foto mesra, berpelukan bahkan mohon maaf beradegan layaknya suami istri. Naudzubillah min dzalik

Seakan status sah setelah akad nikah itu hanyalah sebatas pelengkap administrasi saja.  Lain halnya lagi, saat resepsi pernikahan semacam berlomba-lomba untuk mendatangkan penyanyi (biduan) yang seksi. Padahal ini pernikahan. Kita berdoa agar pernikahan itu di berkahi Allah, sementara di saat yang sama kita mengerjakan hal yang begitu Dia benci.  

Kita sungguh khawatir bila Allah tidak memberikan keberkahan untuk keluarga. Karena keberkahan ini nanti akan berdampak pada masyarakat dan negara. Jangan-jangan kesempitan hidup yang kita alami dalam berbangsa dan bernegara saat ini, pangkalnya dari keluarga yang tidak diberkahi. Naudzubillahi min Dzalik


Senin, 28 Desember 2020

Ikuti Saja Allah

 

Ikuti Saja Allah

Oleh: Panji Anugerah

“Bagaimanapun kondisi hidupmu hari ini, hari lalu, hari esok. Bersangka baiklah pada Allah. Semua akan berakhir indah, bila engkau mengikuti skenario-Nya.

Gemerincing ketakutan, riuh rendah menghantam jiwa wanita itu; ia baru saja melahirkan. Derapan nafasnya tidak beraturan, pikirannya liar hilir-mudik ke sana ke mari. Setelah melahirkan jiwanya semakin tidak tenang. Saat mengetahui sang anak adalah laki- laki. Karena pada saat itu penguasa memberlakukan aturan, anak laki-laki yang lahir akan dibunuh.

Terlihat seperti candaan namun itulah aturan yang berlaku. Penguasa itu sangat takut kekuasaannya digoncang atau bahkan sampai direbut.

Kembali ke wanita tadi. Pikirannya menjadi pendek, dadanya menyempit; sudah kehabisan akal agar sang anak terlepas dari pembunuhan.

Dikondisi yang tidak mengenakkan itu, turunlah perintah Tuhannya agar sang anak dihayutkan ke sungai Nil. Perintah itu sungguh menyesakkan dadanya. Sungguh berat memang diposisi itu. Betapa sulit dan peliknya. Apalagi bila membayangkan betapa rumitnya mengandung dan melahirkan.

Namun wanita itu adalah manusia yang beriman. Cahaya ilahiyah yang ada di dalam dirinya mampu memadamkan segala kegelisahan, ketidakikhlasan itu. Dengan segera ia mengikuti perintah Tuhannya. Memasukkan bayi itu ke dalam peti lalu menghanyutkannya ke sungai       Nil.

Selang beberapa waktu, peti yang dihanyutkan itu tiba di areal sungai tempat istri penguasa dan dayang-dayangnya mandi dan mencuci. Diambillah anak tersebut lalu dibawa ke Istana.

Sampai di Istana, dibukalah peti itu. Asiah nama istri penguasa, terkejut, saat melihat isinya seorang bayi yang rupawan. Hatinya langsung terpikat.

Kabar ini diberitahukanlah pada suaminya; Fir'aun penguasa itu. Awalnya ia tidak setuju bahkan sangat khawatir bahwa anak ini menjadi musuhnya dikemudian hari, menjadi penyebab hancurnya kekuasaannya. Firasatnya terus berbisik.

Namun pinta sang istri yang terus menerus mengalir, menghayutkan firasat buruknya itu. Dan berkatalah isteri Fir’aun: (Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya. Mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak, sedang mereka tiada menyadari.” (Qs Al-Qashash:9).

Akhirnya bayi itu dijadikan sebagai anak angkat di Istana. Sementara di tempat yang terpisah, ibu kandung bayi itu. Sedang kosong hatinya, gelisah jiwanya. Hingga sampai ke titik kulminasi ketidaksanggupannya. Lidahnya sudah kelu, air matanya tak sanggup lagi keluar hanya bisa jatuh ke dalam. Ia merasakan cobaan yang terlampau dalam. Ia sudah tak kuasa.

Di masa-masa sulit itu. Datanglah karunia Allah yang maha indah yang maha besar. Melampaui imajinasi. Memang keajaiban dan pertolongan Allah itu akan datang, saat manusia sudah sampai di titik usaha tertinggi, di puncak kesabaran, di beningnya keikhlasan.

Di saat manusia tidak bisa lagi berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah dan bertawakkal. Baru Allah berikan intervensi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidup. Di saat terhimpit. Agar manusia sadar dan menyadari bahwa segala persoalan hidup, sepelik apapun, serumit apapun, seberat apapun, semustahil apapun akan selesai bila Dzat yang Maha Besar memberikan pertolongan. Ikuti saja skenario Allah.

Kembali ke cerita tadi. Dapatlah sang ibu itu kabar, bahwa sang anak, berada dalam kondisi lingkungan yang sangat mengenakkan. Menjadi anak angkat di Istana. Tidur di kasur yang empuk, dilayani seperti raja, dikasihi dan disayangi.

Bukan main riangnya sang ibu, saat mengetahui kabar itu. Perasaannya berubah tiga ratus enam puluh derajat. Menjadi sangat bahagia-bahagia sekali. Tak sampai disitu. Berkat kesabaran dan tawakkalnya, Allah memberikan karunia dari arah yang tidak disangka-sangka. Dimana melalui skenario indah-Nya, Allah berikan jalan agar sang bayi tidak mau menyusu kepada wanita-wanita manapun, kecuali dirinya.

Akhirnya bayi itu kembali kepelukannya. Untuk Disusuinya, dirawatnya, dididiknya. Bukan hanya sekadar menyusui namun juga diupah dan digaji saat merawat Anak itu. Dimana didapati kisah mulia seperti ini lagi? Digaji untuk membesarkan anak kandung sendiri.

***

 

            Seringkali Allah mendramatisasi jalan hidup seseorang. Untuk mengujinya, untuk membedakannya. Maka krisis dalam hidup itu merupakan sebuah takdir, sudah seharusnya krisis itu tidak disesali apalagi dikutuk. Melainkan kita hanya perlu meyakini bahwa krisis merupakan arena pertarungan yang membedakan antara pejuang dan pecundang.

               Ikuti saja Allah. Skenarionya pasti akan happy ending. Mungkin saat ini kita memiliki permasalahan hidup yang begitu pelik. Bisa jadi kehilangan sesuatu yang dicintai, bisa pula sedang jatuh di titik terendah. Yakinlah pada Allah, Yakinlah pada Rahmat-Nya. Tidak akan pernah Allah membiarkan kita sendirian, bila kita setia dalam lintasan syariatnya.

Maka saat berdoa, saat menengadahkan tangan, jangan pernah minta agar cobaan hidup itu diangkat. Namun mintalah agar jiwa dan fisik kita dikuatkan untuk menghadapinya. Karena hidup yang mulia adalah hidup yang penuh rintangan.

Senin, 13 Juli 2020

Kita Akan BerJaya!


Kita Akan BerJaya!
Panji Anugerah

Dalam lini masa sejarah, wabah ataupun pandemi seringkali berperan dalam merubah wajah peradaban. Pada masa Dinasti Umayyah misalnya, 5 kali wabah mematikan menyerang Dinasti yang berpusat di Damaskus itu. Kesehatan, Sosial dan ekonomi hancur.

Terkhusus pada tahun 750 M wabah mematikan itu membinasakan petinggi-petinggi Umayyah. Konon kabarnya Berhasilnya Abbasiyah melakukan Revolusi dan membentuk peradaban baru salah satu faktornya ialah wabah.

Pun juga pada abad ke 14, masa ini terkenal dengan wabah Black Death. Hampir 2/3 penduduk Eropa binasa, akhir wabah ini ditandai dengan kebangkitan Eropa Barat sekaligus merubah sistem Feodalisme Menuju Imperialisme.
Atau Pandemi Demam Kuning yang dirasakan penduduk Amerika Utara pada abad 18, yang memaksa Napoleon Bonaparte dan Pasukannya angkat kaki, peristiwa ini sekaligus menghapus kekuasan perancis dan perbudakan bangsa Haiti.

Dalam Hukum Kausalitas setiap sebab melahirkan peristiwa, dan peristiwa akan menjadi sebab untuk cerita selanjutnya. Perspektif Takdir juga begitu setiap kejadian pasti ada hikmah yang berserak-serak di dalamnya.

Ditengah krisis Kesehatan dan Ekonomi yang melanda , marilah kita berprasangka baik bahwa terjadinya keterpurukan hari ini adalah sebab untuk kejayaan di hari esok.
Semoga pandemi ini menjadi cikal bakal berubahnya wajah peradaban menuju tatanan kehidupan yang berkeadilan. Yang didalamnya tidak ditemukan lagi kemiskinan, kriminalitas, semuanya hidup sejahtera dan guyub rukun.

Istana Negara diduduki para pejabat yang Berkarakter, Generasi muda semuanya berakhlak, Pasar Dipenuhi pedagang jujur, tempat-tempat peribadatan penuh sesak, dijalanan tidak ada lagi tawuran, semuanya satu demi cinta yang satu.

Pendidikan kita sebagai kiblat dunia, Ekonomi kita sebagai penggerak, Politik sebagai panutan bahkan kebudayaan kita sebagai percontohan.
Terbayangkan? Bagaimana Indahnya bila peristiwa itu terjadi di negri kita dan sebagai aktornya adalah engkau yang sedang baca tulisan ini, InsyaAllah


Zalim atau Lazim


Zalim atau Lazim
Pada suatu masa hiduplah seorang Raja yang sangat adil. Ia mengelola pemerintahan dengan cukup baik. Sederhana, jujur, ramah adalah kepribadian yang melekat padanya.
Pemerintahannya sangat fenomenal, seantero bumi mengenalnya. Capaiannya bukan hanya sekadar prestasi yang bisa dimanipulasi, melainkan sudah sampai di titik puncak, yaitu, terciptanya tatanan kehidupan yang berkeadilan dan makmur.

Rakyatnya berdaulat secara politik dan hukum. Berdikari pula secara ekonomi, toleransi apalagi jangan ditanya, sungguh menakjubkan.
Masyarakatnya hidup dengan tentram dan sederhana, persis seperti sang Raja.

Suatu waktu, bertanyalah Presiden dari negara tetangga yang berhasil itu. "Bagaimana strategi yang kamu lakukan agar bisa mewujudkan negara seperti ini tuan Raja?", Ia menjawab, "Memelihara sifat husnudzon, baik sangka." Presiden itu bertanya lagi, "Hanya itu saja?", "Iya," jawabnya.

Ya, negara itu memelihara sifat husnudzon, baik sangka yang sangat-sangat tinggi.
Sehingga rakyat yang dianggap miskin bagi negara lain, bagi pemerintahan ini bukan. Masyarakatnya dianggap bersifat zuhud, sudah tidak memikirkan dunia.
Adapun pejabat yang korupsi, dianggap meminjam uang. Yang berencana melakukan aniaya disebut ketidaksengajaan. Seperti aparat itu yang tak sengaja membawa air keras lalu tertumpah di wajah seorang hamba yang baru selesai salat subuh itu, sangatlah lazim.
Kuat dugaan air kerasnya juga disenggol, bukan tertumpah.

Sudah lazim bagi masyarakatnya menerima dan menyaksikan seperti itu. Sudah terbiasa.
Masyarakatnya juga sudah lupa perbedaan zalim dan lazim.
Mereka menganggap zalim itu adalah hal yang tak biasa terjadi. Seperti hukum ditegakkan dengan adil, uang negara dikelola dengan transparan, harga listrik murah, harga pangan terjangkau.

Ternyata itulah defenisi zalim, zalim bagi orang-orang yang berada di Istana.


Rabu, 18 Desember 2019

Benteng Terakhir Republik


Agresi Militer II Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 menandakan rapuhnya pertahanan Indonesia. Hanya dalam hitungan jam Ibukota negara berhasil dikuasai.
Agresi ini membuat onar di seantero republik. Maka wajah pemimpin dan rakyat kala itu benar-benar beragam. Ada yang pesimis, ada juga yang mati ketakutan dan ada pula yang siap memperjuangkan republik hingga tetes darah terakhir.
Syafruddin Prawiranegara satu dari sekian yang akan siap berjuang, berkorban menjadi benteng terakhir republik. Dengan semangat membaja, syaf beserta teman-teman lainnya melahirkan suatu gagasan baru untuk menyelamatkan republik atau yang lebih kita kenal dengan istilah PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).
Dengan segala resiko Syafruddin bergerilya dari hutan ke hutan, lorong ke lorong untuk memastikan semuanya aman. Dan puncaknya ialah ketika saluran radio yang ada di Koto Tinggi, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat berhasil mengetuk siaran radio yg ada di India, untuk menyampaikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih memiliki pemerintahan yang sah, sekaligus menyanggah pernyataan Belanda sebelumnya yang mengatakan bahwa Republik Indonesia telah dikuasai kembali oleh Belanda.
Melihat peran PDRI dan Syafruddin yang sangat vital dalam mempertahankan republik Indonesia.
Maka pada tahun 2006, SBY selaku presiden mengeluarkan Keppres tentang "Hari Bela Negara" yang diperingati setiap tanggal 19 Desember.
Keppres Ini bertujuan untuk menghormati jasa-jasa Syafruddin Prawiranegara dan tokoh2 PDRI yang berhasil menyelamatkan Indonesia dari sebuah kegentingan.
Karena entah kenapa nama Syafruddin seringkali hilang dalam khazanah sejarah Indonesia. Padahal beliau presiden ke 2 Republik Indonesia walaupun tak diakui dan terlupakan.
Syafruddin memang tak sefamiliar Soekarno, namun jasanya tak bisa diukur untuk Republik Ini. Semoga dengan sajian singkat ini kita mampu menyusun ulang puzzle sejarah kita yang berantakan.
Selamat Hari Bela Negara!

Minggu, 17 Februari 2019


Indonesia Tempatnya Orang-Orang yang Bertaqwa?
Penulis: Panji Anugerah
            ‘’ Wahai Manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan kemudian kami jadikan kamu bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa, sungguh Allah maha mengetahui, Maha teliti” (Q,S. Al-hujurat ayat 13).
            Dengan segala ampun kepada Tuhanku dan memohon izin kepada asatidz, habaib beserta guru, saya sedikit mencoba memaknai Firman Allah Surat Al-hujurat ayat 13 walaupun sampai sekarang akan gagal memaknai dan menafsirkannya.
            Yang dapat dipahami pada surah Al-hujurat ayat 13 manusia diciptakan berbeda-beda. Berbeda dalam segala proses ada menuju tiada. Bisa dilihat mulai dari cara keluar dari rahim ibu, perbedaan pola pikir saat dewasa, hingga proses kematian diujung usia. Perbedaan telah menjadi kepastian nyata namun sebagian kita masih saja tidak terima dengan adanya perbeda-perbedaan bahkan ada yang mengutuknya. Mengapa demikian? Yang saya cermati sebagian kita menganggap perbedaan itu adalah biangnya perpecahan, ibunya penindasan atau rajanya penjarahan.
            Mengapa pemikiran keliru terus ada di otak kita, bahkan dipelihara terus menerus. Apakah kita lupa bahwa perbedaan adalah pemberian dari Tuhan? Rahmat dari yang Maha Kuasa? atau cara Tuhan mengajak kita belajar dan bertaqwa dari perbedaan. bukankah demikian?
            Ada sekilas kisah yang ingin saya sampaikan, pernah suatu waktu selepas sholat maghrib beberapa jamaah di masjid duduk melingkar bercengkrama dengan hangat, ditengah lingkarannya ada satu sisir pisang. Mereka membahas tentang persatuan. Tiba-tiba ada seseorang yang di luar jamaah yang baru selesai sholat menghampiri lingkaran sembari menyapa dan bersalaman hangat. Setelahnya ia mengambil pisang dan keluar dari masjid.
            Setelah ia pergi apa yang terjadi? Suasana hangat menjadi panas suasana merdu menjadi riuh, bisik-bisik pergunjingan mulai terdengar hingga meluas menjadi topik di tengah lingkaran. Seorang bapak memulai dengan kalimat “kalian kenal siapa lelaki yang menyalam kita tadi? Semuanya serentak menjawab “Tidak” dari ujung lingkaran menyuat emosinya hingga mengatakan “ Kurang ajar, anak yang tak tau sopan santun!” dari pangkal lingkaran mencela dan mengatakan “Kalian yang kurang ajar hanya gara-gara pisang, kalian mempersalahkannya?!”
            Berangkat dari kisah di atas, izinkan saya menarik kesimpulan bahwa dari alam pikiran kita sudah berbeda, manusia memang di fitrahkan untuk berbeda. Rasanya sikap yang pantas diperbuat ialah menerima fitrah dan menjalankan fitrah tersebut. Coba renungkan andai saja manusia punya hobby yang sama perilaku yang serentak keinginan yang senada mungkin dunia ini lucu dan tak seimbang atau bahkan dunia ini tidak dinamakan dunia lagi. Semua punya kebiasaan makan bakso sementara semua manusia hanya bekerja sebagai dokter. Pasti aneh dan tak bisa dibayangkan.
            Begitu pula jika semuanya satu suku, satu bahasa, satu pemikiran. Apa jadinya? Yang pastinya ilmu tak akan berkembang, tradisional tidak akan ada jika modern tak tercipta, yang baik tak terlihat jika yang buruk tak ada. Kausalitas tidak akan dikenal. Jadi peran iblis bagaimana, bukankah memang dunia itu ajang pertarungan antara yang baik dan buruk?
            Lantas apa hubungan narasi dan kisah diatas dengan surah Al-Hujurat ayat 13? Ya begitulah mungkin yang dapat saya maknai. Karena memang diakhir ayat Tuhan menyampaikan orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang bertakwa. Kenapa ada kata takwa setelah perbedaan? Ya karena memang seseorang dapat dikatakan bertakwa ketika ia mampu mengambil pelajaran hidupnya dari sebuah perbedaan dan menjadikan hal tersebut cara untuk mendekatkannya kepada Tuhan. Bukankah demikian?
            Semestinya kita harus bersyukur lahir secara Islam dan dibesarkan secara Islam di Indonesia, kenapa begitu? Ya karena Indonesia itu negara yang beragam. Cara dan celah untuk menjadi orang yang bertaqwa semakin mudah, nuansa keragaman telah ada tinggal pribadi masing-masing mengisi keberagaman ini untuk menjadi orang yang bertaqwa. saya baru menyadari Indonesia tempat yang paling mudah untuk menjadi orang yang bertaqwa. Seharusnya kita harus bersyukur dengan corak budaya yang berbeda.
            Bisa jadi apa yang saya pikirkan hari ini, bisa menjadi hal yang perlu diteliti para ilmuan untuk kedepannya. Andai memang itu nyata pemerintah tak sibuk lagi mempromosikan budaya Indonesia di panggung-panggung Internasional, wisata Indonesia bukan lagi tentang indahnya pantai Kuta, luasnya danau Toba atau tingginya puncak jaya. namun wisata Indonesia adalah manusianya. Manusia yang religius sekaligus bertaqwa, manusia yang paling memanusikan manusia, manusia yang paling damai di seantero bumi, manusia yang paling beradab, santun dan ramah sejagad raya. Hingga nanti wisatawan takjub dan sampai mengatakan Indonesia tempatnya calon penghuni surga terbanyak di dunia. Hehehe
            Kalau begitu kenapa kita terus berdebat masalah sistem negara? Bukankah perbedaan itu jalan kita menuju taqwa? Saya ingin memberikan saran kepada semua orang yang sempat membaca tulisan ini. Kalau memang perbedaan jalan untuk kita bertaqwa kenapa masih saja ada yang mengutuk, yang menghakimi, yang mengkafirkan orang lain? Bukankah lebih baik belajar dan memahami perbedaan ini untuk mendekatkan diri kepada-NYA? Lantas apa yang mesti kita ributkan? Bukankah terminal akhir kita itu menuju sisi-NYA? Kalian ini bagaimana sih? Atau saya yang bagaimana. Sama sekali tidak paham atau belum paham. entahlah                

Kamis, 29 November 2018

Online Shaming

ONLINE SHAMING
Write by Panji Anugerah

Apa itu Online Shaming? 
Online Shaming ialah perilaku mengolok-olok, menghujat, mempermalukan orang lain di media online. Online Shaming bermula karena adanya ketidaksepahaman dengan seseorang atau terkadang keinginan untuk meluruskan hal yang dianggap salah, yang tanpa disadari mempermalukan seseorang. sebagai contoh adanya berita kebijakan kontroversial dari pejabat politik.
Berita kontroversial dari pejabat politik ini akan menjadi perseteruan di kalangan netizen. ada yang pro dan ada yang kontra. namun yang disayangkan, perseteruan netizen ini bukan lagi terkait kebijakan atau hal yang substansif dari pejabat politik  melainkan perseteruan sentimen yg akan merusak perdamaian, seperti sindir menyindir terkait agama, ras, suku, daerah bahkan pendidikan dan strata sosial.
Online Shaming semakin marak beredar. bisa kita lihat disetiap kolom komentar public figure pasti ada yang komentar provokasi baik yang dilakukan oleh akun bodong maupun akun real. online shaming ini terjadi akibat kedangkalan berfikir dan kebebasan.
sejatinya media hadir untuk mempermudah akses bahkan aktivitas sehari-hari seseorang. namun belakangan ini akibat kedangkalan berfikir dan kebebasan, media berubah sebagai alat kebencian tempat seseorang mempermalukan orang lain bahkan menjadi panggung perpecahan.
asumsi sampai saat ini kedangkalan berfikir dan kebebasan adalah penyebab utama. kebebasan dalam media hanyalah ilusi karena dengan kebebasan itulah menjadi ketidakbebasan. bahasa sederhananya kebebasan menjadi alat untuk tidak bebas. kebebasan itu adalah fatamorgana dalam media. memang perlu kiranya ada panduan ataupun regulasi atau hal-hal yang bersifat intensif yang dilakukan pemerintah yang bisa menjadi cerminan bagi masyarakat.
karena sejauh ini UU yang sering dilanggar ataupun diabaikan adalah UU ITE, dapat ditarik kesimpulan bahwa memang masyarakat butuh arahan menjadi seseorang yg cerdas dalam bermedia. jika pemerintah masih menutup mata terkait ini lama2 panggung permusuhan ini akan semakin meluas dan meluber kemana-kemana.
media berpengaruh dalam berpikir masyarakat, karena apa yang ada akan menjadi biasa dan akhirnya menjadi kebudayaan baru masyarakat.
dahulu, sebelum adanya media tulis masyarakat menjadikan daya ingat sebagai sarana untuk menyimpan hal-hal yang dianggap penting. namun ketika media tulis hadir masyarakat malas untuk mengingat.
dahulu, sebelum hadirnya media cetak masyarakat berbondong-bondong ke perpustakaan untuk membaca buku, setelah membaca buku masyarakat mendiskusikan apa yang dibaca. namun, ketika media cetak telah hadir masyarakat membaca hanya dirumah dan menelan hasil bacaannya mentah-mentah tanpa ada diskusi yang rutin.
dan sekarang, jamannya media teknologi, media instan. masyarakat telah malas untuk mengingat, menulis, membaca, berdiskusi. masyarakat lebih cenderung mengikuti, memalsukan dan mengolok-olok.
Teknologi yang semakin berkualitas bertolak belakang dengan kebudayaan yang berkualitas. akhir-akhir ini kita mendengar adanya duel maut gara-gara perbedaan pendapat di media. sesadis itukah media sehingga ada yang memakan korban sekejam itukah online shaming? hingga nyawa melayang.