Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Juli 2020

Zalim atau Lazim


Zalim atau Lazim
Pada suatu masa hiduplah seorang Raja yang sangat adil. Ia mengelola pemerintahan dengan cukup baik. Sederhana, jujur, ramah adalah kepribadian yang melekat padanya.
Pemerintahannya sangat fenomenal, seantero bumi mengenalnya. Capaiannya bukan hanya sekadar prestasi yang bisa dimanipulasi, melainkan sudah sampai di titik puncak, yaitu, terciptanya tatanan kehidupan yang berkeadilan dan makmur.

Rakyatnya berdaulat secara politik dan hukum. Berdikari pula secara ekonomi, toleransi apalagi jangan ditanya, sungguh menakjubkan.
Masyarakatnya hidup dengan tentram dan sederhana, persis seperti sang Raja.

Suatu waktu, bertanyalah Presiden dari negara tetangga yang berhasil itu. "Bagaimana strategi yang kamu lakukan agar bisa mewujudkan negara seperti ini tuan Raja?", Ia menjawab, "Memelihara sifat husnudzon, baik sangka." Presiden itu bertanya lagi, "Hanya itu saja?", "Iya," jawabnya.

Ya, negara itu memelihara sifat husnudzon, baik sangka yang sangat-sangat tinggi.
Sehingga rakyat yang dianggap miskin bagi negara lain, bagi pemerintahan ini bukan. Masyarakatnya dianggap bersifat zuhud, sudah tidak memikirkan dunia.
Adapun pejabat yang korupsi, dianggap meminjam uang. Yang berencana melakukan aniaya disebut ketidaksengajaan. Seperti aparat itu yang tak sengaja membawa air keras lalu tertumpah di wajah seorang hamba yang baru selesai salat subuh itu, sangatlah lazim.
Kuat dugaan air kerasnya juga disenggol, bukan tertumpah.

Sudah lazim bagi masyarakatnya menerima dan menyaksikan seperti itu. Sudah terbiasa.
Masyarakatnya juga sudah lupa perbedaan zalim dan lazim.
Mereka menganggap zalim itu adalah hal yang tak biasa terjadi. Seperti hukum ditegakkan dengan adil, uang negara dikelola dengan transparan, harga listrik murah, harga pangan terjangkau.

Ternyata itulah defenisi zalim, zalim bagi orang-orang yang berada di Istana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar