Zalim atau Lazim
Pada suatu masa hiduplah seorang Raja
yang sangat adil. Ia mengelola pemerintahan dengan cukup baik. Sederhana,
jujur, ramah adalah kepribadian yang melekat padanya.
Pemerintahannya sangat fenomenal,
seantero bumi mengenalnya. Capaiannya bukan hanya sekadar prestasi yang bisa
dimanipulasi, melainkan sudah sampai di titik puncak, yaitu, terciptanya
tatanan kehidupan yang berkeadilan dan makmur.
Rakyatnya berdaulat secara politik dan
hukum. Berdikari pula secara ekonomi, toleransi apalagi jangan ditanya, sungguh
menakjubkan.
Masyarakatnya hidup dengan tentram dan
sederhana, persis seperti sang Raja.
Suatu waktu, bertanyalah Presiden dari
negara tetangga yang berhasil itu. "Bagaimana strategi yang kamu lakukan
agar bisa mewujudkan negara seperti ini tuan Raja?", Ia menjawab,
"Memelihara sifat husnudzon, baik sangka." Presiden itu bertanya
lagi, "Hanya itu saja?", "Iya," jawabnya.
Ya, negara itu memelihara sifat
husnudzon, baik sangka yang sangat-sangat tinggi.
Sehingga rakyat yang dianggap miskin
bagi negara lain, bagi pemerintahan ini bukan. Masyarakatnya dianggap bersifat
zuhud, sudah tidak memikirkan dunia.
Adapun pejabat yang korupsi, dianggap
meminjam uang. Yang berencana melakukan aniaya disebut
ketidaksengajaan. Seperti aparat itu yang tak sengaja membawa air keras lalu
tertumpah di wajah seorang hamba yang baru selesai salat subuh itu, sangatlah
lazim.
Kuat dugaan air kerasnya juga disenggol,
bukan tertumpah.
Sudah lazim bagi masyarakatnya menerima
dan menyaksikan seperti itu. Sudah terbiasa.
Masyarakatnya juga sudah lupa perbedaan
zalim dan lazim.
Mereka menganggap zalim itu adalah hal
yang tak biasa terjadi. Seperti hukum ditegakkan dengan adil, uang negara dikelola
dengan transparan, harga listrik murah, harga pangan terjangkau.
Ternyata itulah defenisi zalim, zalim
bagi orang-orang yang berada di Istana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar