APA KITA TELAH SWASEMBADA PANGAN?
Berbicara pangan berarti berbicara hidup dan
mati (Soekarno:1952). Pangan adalah kebutuhan pokok manusia untuk bertahan
hidup. Jika melihat fakta dilapangan apakah kita telah mandiri dengan pangan seperti
yang telah dicita-citakan oleh bangsa ini? Dalam UU No.18 Tahun 2012 ada
beberapa pengertian yang mesti kita ketahui: Pasal 1 ayat 2 kedaulatan pangan
adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan
yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi
masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber
daya lokal. Ayat 4 kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin
pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ditingkat perseorangan dengan
memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, kearifan lokal
secara bermartabat. Apakah kita telah swasembada pangan, seperti halnya Revolusi
Hijau 40 Tahun silam? Pemerintahan saat ini telah merencanakan untuk perbaikan
pangan. Lihat saja Nawa Cita point ke 6, dilain sisi Rezim ini benar-benar
benderang dalam masalah pangan. Lihat saja targetnya bahwasanya pemerintah
mencanangkan swasembada pangan yang ditargetkan tercapai tahun 2017 (jagung,
padi, kedelai) dan 2018-2019 (Menuju swasembada gula dan garam). Ini
benar-benar jauh dari realita yang ada. Apakah pernyataan ini hanya sekedar
penenang untuk masyarakat? Kenapa tidak, akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan
adanya impor garam dari Australia sebanyak 75 Ribu ton yang mana berita ini
sangat menyayat hati. Bukankah negeri ini mempunyai garis pantai terpanjang
nomor 2 di dunia? Tidak sampai disitu, lagi-lagi pemerintah menjalankan politik
ekonomi yg bertentangan dengan hukum dan kedaulatan rakyat. Coba kita amati
masuknya gula rafinasi dalam pasar ekonomi yang mana ini sangat-sangat menyayat
hati petani tebu ditambah lagi PPN yang sangat lumayan tinggi. Bagaimana petani
kita produktif sementara produknya tidak diapresiasi bahkan tidak
diperjualbelikan secara utuh? Lagi-lagi impor. Rata-rata petani indonesia
memanfaatkan hasil panennya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri padahal jika
dikembangkan dengan bersama-sama mereka buka hanya mendapatkan apa yang mereka
tanam tapi juga mendapatkan apa yang mereka jual.
Pangan kita masih darurat jika kita diamati Data
Pemberitahuan Impor Barang (PIB) Ditjen Bea Cukai menunjukkan impor beras pada
2016 sekitar 1,3 juta ton, dan sepanjang Januari hingga Mei 2017, Indonesia
masih mengimpor beras 94 ribu ton.
Terhitung sejak 2016 lalu, impor beras medium sudah dihentikan. Beras medium adalah beras yang dimakan oleh masyarakat sehari-hari. Ada pula jenis beras khusus yang tidak bisa diproduksi petani dalam negeri—beras yang digunakan dalam nasi biryani di restoran-restoran India, misalnya. Untuk jenis beras khusus ini, Indonesia tentu tidak bisa berhenti mengimpor.
Meski impor sejumlah komoditas berhasil ditekan, tetapi ada juga impor komoditas lain yang masih tinggi. Salah satunya adalah gandum. Menurut data BPS, impor gandum pada periode Januari-November 2016 tercatat sebesar 9,79 juta ton. Angka ini naik signifikan dari 6,77 juta ton tahun sebelumnya. Beberapa bahan pangan pun belum bisa ditingkatkan produksinya untuk menekan impor. Kedelai dan kacang tanah adalah dua di antaranya. Sebagai negara pembuat tempe, Indonesia membutuhkan sekitar 2 juta ton kedelai setiap tahun. Sayangnya, produksi dalam negeri menurut BPS masih kurang dari satu juta ton. Tahun 2014, total produksi kedelai di Indonesia hanya 954.997 ton. Setahun kemudian, angkanya naik, tetapi tak signifikan, hanya 963.183 ton. Tahun 2016, produksi malah turun ke angka 890.000 ton. Tahun ini diprediksi turun lagi menjadi hanya 750.000 ton.
Swasembada
kedelai telah dicanangkan sejak 2014, tetapi sampai 2017 ini masih jauh
panggang dari api. Setiap tahun, Indonesia lebih banyak mengimpor kedelai dari
yang bisa diproduksi. Ini ironi lain di negara produsen tempe. Tahun lalu,
misalnya, impor kedelai mencapai 2,3 juta ton. Sampai akhir tahun ini, angka
impor kedelai diperkirakan naik menjadi 2,53 juta ton. Produksi kacang tanah
lebih menyedihkan dibanding kedelai. Kalau produksi kedelai sempat naik tipis
pada 2015, produksi kacang tanah malah menurun. Tahun 2013, produksi kacang
tanah Indonesia bisa menyentuh angka 701.680 ton. Tahun 2014, pada masa awal
pemerintahan Jokowi-JK, angkanya turun menjadi 638.896 ton. Tahun 2015, total
produksi turun lagi menjadi 605.449 ton. Padahal kebutuhan kacang tanah menurut
Kementerian Pertanian sekitar 700 ribu ton pada 2016. Alhasil, Indonesia masih
harus mengimpor kacang tanah. Sepanjang 2014, volume impor kacang tanah
tercatat sebesar 253.236 ton. Tahun 2015, meski produksi menurun, tetapi volume
impor juga turun tipis menjadi hanya 194.430 ton.
Dilain sisi jika kita berbicara swasembada pangan dan
kedaulatan bukan hanya sekedar produsen dan konsumen tapi jauh dari itu harus
adanya pelayanan public yang optimal seperti adanya ketersediaan, keterjangkuan
dan stabilitas. Ketersediaan disini adalah penyediaan yang bersumber dari produksi petani
dalam negeri, Dalam konteks produksi keberpihakan kepada petani menjadi
indikator penting kualitas pelayanan publik oleh pemerintah. Indikator
tercermin bukan saja dari nilai tukar petani, jauh lebih penting adalah
kebijakan sisi produksi yang memberdayakan petani. Bantuan alat dan mesin
pertanian (alsintan) misalnya hanya akan menjadi inventaris tak berguna jika tidak
dibarengi dengan proses pendampingan dalam pemanfaatannya. Sumber lain yaitu
pembelian dari luar negeri. Sumber ini pada dasarnya merupakan alternatif
terakhir yang bersifat kontingensi/darurat.Penyediaan melalui sumber alternatif
ini juga menjadi refleksi rasionalitas pemerintah dalam memprioritaskan
kepentingan publik yang lebih besar. Persoalan kemudian dalam penyediaan pangan
adalah harga yang terbentuk di pasar. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi
anomali. Harga beras terus naik, sementara data produksi yang dikeluarkan
pemerintah juga disebutkan terus bertambah.
Sementara itu Keterjangkuan dalam pangan mencakup setidaknya dua hal: keterjangkauan
secara fisik dan keterjangkauan secara ekonomi. Keduanya harus dipastikan dapat
diakses dengan baik oleh publik. Keterjangkauan secara fisik mengharuskan
produk pangan dengan mudah diperoleh masyarakat di sekitar tempat tinggal atau
beraktivitas. Di sinilah peran logistik bekerja. Bagi daerahdaerah dengan
infrastruktur yang baik tidak sulit mendatangkan pihak swasta untuk
berinvestasi dan membantu pemerintah menyediakan layanan pangan di daerah
tersebut. Tetapi, di wilayah yang minim infrastruktur seperti daerah perbatasan
dan marjinal, sedikit sekali insentif bagi swasta untuk masuk. Mau tidak mau
pemerintah harus hadir, langsung maupun melalui lembaga mandatori.
Keterjangkauan secara ekonomi sangat erat kaitannya dengan daya beli
masyarakat. Keduanya mengharuskan keterlibatan pemerintah baik sebagai penyedia
layanan maupun sistem pendukungnya. Rencana penghapusan program raskin dengan
pola voucher merupakan tantangan bagi pemerintah untuk mewujudkan dua aspek
keterjangkauan tersebut dengan lebih baik.
Sementara stabilitas merupakan jaminan kepastian
dari pemerintah kepada masyarakat, khususnya atas harga yang stabil atau
terjaga pada tingkat yang wajar. Jaminan kepastian ini menjadi prasyarat
tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Maka itu, bagaimana
pemerintah berstrategi secara cerdas dalam menjaga stabilitas ini menjadi
penting. Jika harga komoditas pangan terus mengalami fluktuasi tanpa ada
kendali, pemerintah harus bersiap menerima pengadilan masyarakat. Dalam
realisasinya pelayanan public dibidang pangan khususnya beras seringkali
menjadi bias karena faktor politik. Komitmen untuk mencapai swasembada membuat
pemerintah menutup mata terhadap realitas produksi di lapangan. Lebih naif lagi
ketika ukuran itu diindikasikan melalui kinerja pengadaan gabah/ beras oleh
Perum Bulog. Dalam konteks ini ukuran swasembada menjadi tereduksi secara
sempit.
Jika melihat nota keuangan tentang pangan
pemerintah tidak tanggung-tanggung menggelontorkan dana Berdasarkan data dari
Ombudsman Republik Indonesia dan Nota Keuangan 2015, pada tahun 2015, Kementerian Pertanian menggelontorkan duit Rp 429 miliar untuk
membuka lahan sawah seluas 30 ribu hektare. Namun, yang tercetak hanya 20 ribu
hektare. Kemudian pada tahun 2016, kementerian yang dipimpin Amran kembali
mengeluarkan anggaran Rp 3,5 triliun untuk mencetak 130 ribu hektare tapi
lagi-lagi tidak tercapai target
Tidak ada komentar:
Posting Komentar