Total Tayangan Halaman

Selasa, 17 Oktober 2017

Swasembada Pangan



APA KITA TELAH SWASEMBADA PANGAN?

Berbicara pangan berarti berbicara hidup dan mati (Soekarno:1952). Pangan adalah kebutuhan pokok manusia untuk bertahan hidup. Jika melihat fakta dilapangan apakah kita telah mandiri dengan pangan seperti yang telah dicita-citakan oleh bangsa ini? Dalam UU No.18 Tahun 2012 ada beberapa pengertian yang mesti kita ketahui: Pasal 1 ayat 2 kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Ayat 4 kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ditingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, kearifan lokal secara bermartabat. Apakah kita telah swasembada pangan, seperti halnya Revolusi Hijau 40 Tahun silam? Pemerintahan saat ini telah merencanakan untuk perbaikan pangan. Lihat saja Nawa Cita point ke 6, dilain sisi Rezim ini benar-benar benderang dalam masalah pangan. Lihat saja targetnya bahwasanya pemerintah mencanangkan swasembada pangan yang ditargetkan tercapai tahun 2017 (jagung, padi, kedelai) dan 2018-2019 (Menuju swasembada gula dan garam). Ini benar-benar jauh dari realita yang ada. Apakah pernyataan ini hanya sekedar penenang untuk masyarakat? Kenapa tidak, akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan adanya impor garam dari Australia sebanyak 75 Ribu ton yang mana berita ini sangat menyayat hati. Bukankah negeri ini mempunyai garis pantai terpanjang nomor 2 di dunia? Tidak sampai disitu, lagi-lagi pemerintah menjalankan politik ekonomi yg bertentangan dengan hukum dan kedaulatan rakyat. Coba kita amati masuknya gula rafinasi dalam pasar ekonomi yang mana ini sangat-sangat menyayat hati petani tebu ditambah lagi PPN yang sangat lumayan tinggi. Bagaimana petani kita produktif sementara produknya tidak diapresiasi bahkan tidak diperjualbelikan secara utuh? Lagi-lagi impor. Rata-rata petani indonesia memanfaatkan hasil panennya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri padahal jika dikembangkan dengan bersama-sama mereka buka hanya mendapatkan apa yang mereka tanam tapi juga mendapatkan apa yang mereka jual.
Pangan kita masih darurat jika kita diamati Data Pemberitahuan Impor Barang (PIB) Ditjen Bea Cukai menunjukkan impor beras pada 2016 sekitar 1,3 juta ton, dan sepanjang Januari hingga Mei 2017, Indonesia masih mengimpor beras 94 ribu ton.

Terhitung sejak 2016 lalu, impor beras medium sudah dihentikan. Beras medium adalah beras yang dimakan oleh masyarakat sehari-hari. Ada pula jenis beras khusus yang tidak bisa diproduksi petani dalam negeri—beras yang digunakan dalam nasi biryani di restoran-restoran India, misalnya. Untuk jenis beras khusus ini, Indonesia tentu tidak bisa berhenti mengimpor.

Meski impor sejumlah komoditas berhasil ditekan, tetapi ada juga impor komoditas lain yang masih tinggi. Salah satunya adalah gandum. Menurut data BPS, impor gandum pada periode Januari-November 2016 tercatat sebesar 9,79 juta ton. Angka ini naik signifikan dari 6,77 juta ton tahun sebelumnya. Beberapa bahan pangan pun belum bisa ditingkatkan produksinya untuk menekan impor. Kedelai dan kacang tanah adalah dua di antaranya. Sebagai negara pembuat tempe, Indonesia membutuhkan sekitar 2 juta ton kedelai setiap tahun. Sayangnya, produksi dalam negeri menurut BPS masih kurang dari satu juta ton. Tahun 2014, total produksi kedelai di Indonesia hanya 954.997 ton. Setahun kemudian, angkanya naik, tetapi tak signifikan, hanya 963.183 ton. Tahun 2016, produksi malah turun ke angka 890.000 ton. Tahun ini diprediksi turun lagi menjadi hanya 750.000 ton.
Swasembada kedelai telah dicanangkan sejak 2014, tetapi sampai 2017 ini masih jauh panggang dari api. Setiap tahun, Indonesia lebih banyak mengimpor kedelai dari yang bisa diproduksi. Ini ironi lain di negara produsen tempe. Tahun lalu, misalnya, impor kedelai mencapai 2,3 juta ton. Sampai akhir tahun ini, angka impor kedelai diperkirakan naik menjadi 2,53 juta ton. Produksi kacang tanah lebih menyedihkan dibanding kedelai. Kalau produksi kedelai sempat naik tipis pada 2015, produksi kacang tanah malah menurun. Tahun 2013, produksi kacang tanah Indonesia bisa menyentuh angka 701.680 ton. Tahun 2014, pada masa awal pemerintahan Jokowi-JK, angkanya turun menjadi 638.896 ton. Tahun 2015, total produksi turun lagi menjadi 605.449 ton. Padahal kebutuhan kacang tanah menurut Kementerian Pertanian sekitar 700 ribu ton pada 2016. Alhasil, Indonesia masih harus mengimpor kacang tanah. Sepanjang 2014, volume impor kacang tanah tercatat sebesar 253.236 ton. Tahun 2015, meski produksi menurun, tetapi volume impor juga turun tipis menjadi hanya 194.430 ton.
Dilain sisi jika kita berbicara swasembada pangan dan kedaulatan bukan hanya sekedar produsen dan konsumen tapi jauh dari itu harus adanya pelayanan public yang optimal seperti adanya ketersediaan, keterjangkuan dan stabilitas. Ketersediaan disini adalah penyediaan yang bersumber dari produksi petani dalam negeri, Dalam konteks produksi keberpihakan kepada petani menjadi indikator penting kualitas pelayanan publik oleh pemerintah. Indikator tercermin bukan saja dari nilai tukar petani, jauh lebih penting adalah kebijakan sisi produksi yang memberdayakan petani. Bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) misalnya hanya akan menjadi inventaris tak berguna jika tidak dibarengi dengan proses pendampingan dalam pemanfaatannya. Sumber lain yaitu pembelian dari luar negeri. Sumber ini pada dasarnya merupakan alternatif terakhir yang bersifat kontingensi/darurat.Penyediaan melalui sumber alternatif ini juga menjadi refleksi rasionalitas pemerintah dalam memprioritaskan kepentingan publik yang lebih besar. Persoalan kemudian dalam penyediaan pangan adalah harga yang terbentuk di pasar. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi anomali. Harga beras terus naik, sementara data produksi yang dikeluarkan pemerintah juga disebutkan terus bertambah.
Sementara itu Keterjangkuan dalam pangan  mencakup setidaknya dua hal: keterjangkauan secara fisik dan keterjangkauan secara ekonomi. Keduanya harus dipastikan dapat diakses dengan baik oleh publik. Keterjangkauan secara fisik mengharuskan produk pangan dengan mudah diperoleh masyarakat di sekitar tempat tinggal atau beraktivitas. Di sinilah peran logistik bekerja. Bagi daerahdaerah dengan infrastruktur yang baik tidak sulit mendatangkan pihak swasta untuk berinvestasi dan membantu pemerintah menyediakan layanan pangan di daerah tersebut. Tetapi, di wilayah yang minim infrastruktur seperti daerah perbatasan dan marjinal, sedikit sekali insentif bagi swasta untuk masuk. Mau tidak mau pemerintah harus hadir, langsung maupun melalui lembaga mandatori. Keterjangkauan secara ekonomi sangat erat kaitannya dengan daya beli masyarakat. Keduanya mengharuskan keterlibatan pemerintah baik sebagai penyedia layanan maupun sistem pendukungnya. Rencana penghapusan program raskin dengan pola voucher merupakan tantangan bagi pemerintah untuk mewujudkan dua aspek keterjangkauan tersebut dengan lebih baik.
Sementara stabilitas merupakan jaminan kepastian dari pemerintah kepada masyarakat, khususnya atas harga yang stabil atau terjaga pada tingkat yang wajar. Jaminan kepastian ini menjadi prasyarat tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Maka itu, bagaimana pemerintah berstrategi secara cerdas dalam menjaga stabilitas ini menjadi penting. Jika harga komoditas pangan terus mengalami fluktuasi tanpa ada kendali, pemerintah harus bersiap menerima pengadilan masyarakat. Dalam realisasinya pelayanan public dibidang pangan khususnya beras seringkali menjadi bias karena faktor politik. Komitmen untuk mencapai swasembada membuat pemerintah menutup mata terhadap realitas produksi di lapangan. Lebih naif lagi ketika ukuran itu diindikasikan melalui kinerja pengadaan gabah/ beras oleh Perum Bulog. Dalam konteks ini ukuran swasembada menjadi tereduksi secara sempit.
Jika melihat nota keuangan tentang pangan pemerintah tidak tanggung-tanggung menggelontorkan dana Berdasarkan data dari Ombudsman Republik Indonesia dan Nota Keuangan 2015, pada tahun 2015, Kementerian Pertanian menggelontorkan duit Rp 429 miliar untuk membuka lahan sawah seluas 30 ribu hektare. Namun, yang tercetak hanya 20 ribu hektare. Kemudian pada tahun 2016, kementerian yang dipimpin Amran kembali mengeluarkan anggaran Rp 3,5 triliun untuk mencetak 130 ribu hektare tapi lagi-lagi tidak tercapai target

Tidak ada komentar:

Posting Komentar