Total Tayangan Halaman

Rabu, 18 Desember 2019

Benteng Terakhir Republik


Agresi Militer II Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 menandakan rapuhnya pertahanan Indonesia. Hanya dalam hitungan jam Ibukota negara berhasil dikuasai.
Agresi ini membuat onar di seantero republik. Maka wajah pemimpin dan rakyat kala itu benar-benar beragam. Ada yang pesimis, ada juga yang mati ketakutan dan ada pula yang siap memperjuangkan republik hingga tetes darah terakhir.
Syafruddin Prawiranegara satu dari sekian yang akan siap berjuang, berkorban menjadi benteng terakhir republik. Dengan semangat membaja, syaf beserta teman-teman lainnya melahirkan suatu gagasan baru untuk menyelamatkan republik atau yang lebih kita kenal dengan istilah PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).
Dengan segala resiko Syafruddin bergerilya dari hutan ke hutan, lorong ke lorong untuk memastikan semuanya aman. Dan puncaknya ialah ketika saluran radio yang ada di Koto Tinggi, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat berhasil mengetuk siaran radio yg ada di India, untuk menyampaikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih memiliki pemerintahan yang sah, sekaligus menyanggah pernyataan Belanda sebelumnya yang mengatakan bahwa Republik Indonesia telah dikuasai kembali oleh Belanda.
Melihat peran PDRI dan Syafruddin yang sangat vital dalam mempertahankan republik Indonesia.
Maka pada tahun 2006, SBY selaku presiden mengeluarkan Keppres tentang "Hari Bela Negara" yang diperingati setiap tanggal 19 Desember.
Keppres Ini bertujuan untuk menghormati jasa-jasa Syafruddin Prawiranegara dan tokoh2 PDRI yang berhasil menyelamatkan Indonesia dari sebuah kegentingan.
Karena entah kenapa nama Syafruddin seringkali hilang dalam khazanah sejarah Indonesia. Padahal beliau presiden ke 2 Republik Indonesia walaupun tak diakui dan terlupakan.
Syafruddin memang tak sefamiliar Soekarno, namun jasanya tak bisa diukur untuk Republik Ini. Semoga dengan sajian singkat ini kita mampu menyusun ulang puzzle sejarah kita yang berantakan.
Selamat Hari Bela Negara!

Minggu, 17 Februari 2019


Indonesia Tempatnya Orang-Orang yang Bertaqwa?
Penulis: Panji Anugerah
            ‘’ Wahai Manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan kemudian kami jadikan kamu bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa, sungguh Allah maha mengetahui, Maha teliti” (Q,S. Al-hujurat ayat 13).
            Dengan segala ampun kepada Tuhanku dan memohon izin kepada asatidz, habaib beserta guru, saya sedikit mencoba memaknai Firman Allah Surat Al-hujurat ayat 13 walaupun sampai sekarang akan gagal memaknai dan menafsirkannya.
            Yang dapat dipahami pada surah Al-hujurat ayat 13 manusia diciptakan berbeda-beda. Berbeda dalam segala proses ada menuju tiada. Bisa dilihat mulai dari cara keluar dari rahim ibu, perbedaan pola pikir saat dewasa, hingga proses kematian diujung usia. Perbedaan telah menjadi kepastian nyata namun sebagian kita masih saja tidak terima dengan adanya perbeda-perbedaan bahkan ada yang mengutuknya. Mengapa demikian? Yang saya cermati sebagian kita menganggap perbedaan itu adalah biangnya perpecahan, ibunya penindasan atau rajanya penjarahan.
            Mengapa pemikiran keliru terus ada di otak kita, bahkan dipelihara terus menerus. Apakah kita lupa bahwa perbedaan adalah pemberian dari Tuhan? Rahmat dari yang Maha Kuasa? atau cara Tuhan mengajak kita belajar dan bertaqwa dari perbedaan. bukankah demikian?
            Ada sekilas kisah yang ingin saya sampaikan, pernah suatu waktu selepas sholat maghrib beberapa jamaah di masjid duduk melingkar bercengkrama dengan hangat, ditengah lingkarannya ada satu sisir pisang. Mereka membahas tentang persatuan. Tiba-tiba ada seseorang yang di luar jamaah yang baru selesai sholat menghampiri lingkaran sembari menyapa dan bersalaman hangat. Setelahnya ia mengambil pisang dan keluar dari masjid.
            Setelah ia pergi apa yang terjadi? Suasana hangat menjadi panas suasana merdu menjadi riuh, bisik-bisik pergunjingan mulai terdengar hingga meluas menjadi topik di tengah lingkaran. Seorang bapak memulai dengan kalimat “kalian kenal siapa lelaki yang menyalam kita tadi? Semuanya serentak menjawab “Tidak” dari ujung lingkaran menyuat emosinya hingga mengatakan “ Kurang ajar, anak yang tak tau sopan santun!” dari pangkal lingkaran mencela dan mengatakan “Kalian yang kurang ajar hanya gara-gara pisang, kalian mempersalahkannya?!”
            Berangkat dari kisah di atas, izinkan saya menarik kesimpulan bahwa dari alam pikiran kita sudah berbeda, manusia memang di fitrahkan untuk berbeda. Rasanya sikap yang pantas diperbuat ialah menerima fitrah dan menjalankan fitrah tersebut. Coba renungkan andai saja manusia punya hobby yang sama perilaku yang serentak keinginan yang senada mungkin dunia ini lucu dan tak seimbang atau bahkan dunia ini tidak dinamakan dunia lagi. Semua punya kebiasaan makan bakso sementara semua manusia hanya bekerja sebagai dokter. Pasti aneh dan tak bisa dibayangkan.
            Begitu pula jika semuanya satu suku, satu bahasa, satu pemikiran. Apa jadinya? Yang pastinya ilmu tak akan berkembang, tradisional tidak akan ada jika modern tak tercipta, yang baik tak terlihat jika yang buruk tak ada. Kausalitas tidak akan dikenal. Jadi peran iblis bagaimana, bukankah memang dunia itu ajang pertarungan antara yang baik dan buruk?
            Lantas apa hubungan narasi dan kisah diatas dengan surah Al-Hujurat ayat 13? Ya begitulah mungkin yang dapat saya maknai. Karena memang diakhir ayat Tuhan menyampaikan orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang bertakwa. Kenapa ada kata takwa setelah perbedaan? Ya karena memang seseorang dapat dikatakan bertakwa ketika ia mampu mengambil pelajaran hidupnya dari sebuah perbedaan dan menjadikan hal tersebut cara untuk mendekatkannya kepada Tuhan. Bukankah demikian?
            Semestinya kita harus bersyukur lahir secara Islam dan dibesarkan secara Islam di Indonesia, kenapa begitu? Ya karena Indonesia itu negara yang beragam. Cara dan celah untuk menjadi orang yang bertaqwa semakin mudah, nuansa keragaman telah ada tinggal pribadi masing-masing mengisi keberagaman ini untuk menjadi orang yang bertaqwa. saya baru menyadari Indonesia tempat yang paling mudah untuk menjadi orang yang bertaqwa. Seharusnya kita harus bersyukur dengan corak budaya yang berbeda.
            Bisa jadi apa yang saya pikirkan hari ini, bisa menjadi hal yang perlu diteliti para ilmuan untuk kedepannya. Andai memang itu nyata pemerintah tak sibuk lagi mempromosikan budaya Indonesia di panggung-panggung Internasional, wisata Indonesia bukan lagi tentang indahnya pantai Kuta, luasnya danau Toba atau tingginya puncak jaya. namun wisata Indonesia adalah manusianya. Manusia yang religius sekaligus bertaqwa, manusia yang paling memanusikan manusia, manusia yang paling damai di seantero bumi, manusia yang paling beradab, santun dan ramah sejagad raya. Hingga nanti wisatawan takjub dan sampai mengatakan Indonesia tempatnya calon penghuni surga terbanyak di dunia. Hehehe
            Kalau begitu kenapa kita terus berdebat masalah sistem negara? Bukankah perbedaan itu jalan kita menuju taqwa? Saya ingin memberikan saran kepada semua orang yang sempat membaca tulisan ini. Kalau memang perbedaan jalan untuk kita bertaqwa kenapa masih saja ada yang mengutuk, yang menghakimi, yang mengkafirkan orang lain? Bukankah lebih baik belajar dan memahami perbedaan ini untuk mendekatkan diri kepada-NYA? Lantas apa yang mesti kita ributkan? Bukankah terminal akhir kita itu menuju sisi-NYA? Kalian ini bagaimana sih? Atau saya yang bagaimana. Sama sekali tidak paham atau belum paham. entahlah