Kita Bukan
Bangsa Yang Terluka
Penulis: Panjianugerahp@gmail.com
Ada sebuah luka yang semakin
menganga yang dialami bangsa ini, luka itu terus semakin meluber keseluruh
tubuh dan mungkin telah masuk stadium 4, parah? Bisa jadi, jika tidak segera
diobati pembuluh darahnya akan pecah. Bangsa ini mengalami penyakit komplikasi
yang diakibatkan oleh tubuhnya sendiri. Ketidakpercayaan sesama anak bangsa
meluas kemana-mana, saling menganggap diri paling benar dan sangat mudah
menyalahkan orang lain.
Penyakit ini berdampak dengan
turunnya kualitas semangat hidup. Siapa aktor dibalik penyakit ini? Tak usah
jawab, cukup getarkan hatimu jangan sampai pertanyaan ini menambah luka bangsa.
Akhir-akhir ini rakyat mengalami situasi yang tak bisa dielakkan konflik antar
anak bangsa semakin murah dilihat, pertunjukan drama politisi semakin ramai,
Bangsaku terluka?
Ada juga kejadian lucu tersaji di
alam demokrasi, ketika banyak mulut tersumbat dan disumbat saat ingin berbicara,
kebebasan beragama dihadang, kebenaran seolah-olah hanya milik satu orang. Sampai
kapan seperti ini? Dulu tak ada yang merasa paling benar, dulu tak ada yang
merasa paling berjuang, dulu tak ada yang saling menyalahkan padahal mereka
telah nyata seorang pahlawan. Tapi kenapa kita yang belum ada berbuat malah
merasa yang paling berjasa?
Kini, mental sok berkuasa telah
merongrong keseluruh elemen bangsa yang menjadikan bangsa ini darurat disegala
lini. Belum lagi kekayaan yang selama ini dibanggakan malah dijadikan senjata
perpecahan, yaitu perbedaan. Ya perbedaan. Perbedaan kini bukanlah menjadi hal
yang indah bagi bangsa ini. Jikalau ingin berargumen harus melihat tempat dulu
kalau tidak, bisa masuk penjara.
Kini, banyaknya perbedaan malah
menjatuhkan moral bangsa. Kenapa tidak? Sedikit-sedikit berperang untuk benar. Perbuatan
yang tidak benar ini semakin candu dikalangan anak bangsa, padahal menyalahkan
oranglain itu tidak baik jangankan menyalahkan membenarkan diri sendiri saja
tidak boleh. Belum lagi dengan kepercayaan, kita krisis itu. Sesama saudara
setanah air kita mudah buruk sangka, kita lebih percaya dengan aseng. Siapa kita
ini sebenarnya? Apakah kita satu nusa namun bukan satu bangsa?
Kepercayaan kita sangatlah lemah,
hegemoni streotip terus mengalir disekitar kita. Terkadang aku tak habis pikir,
apakah mungkin seseorang yang satu rahim, satu ibu dan satu rumah tidak saling
memercayai.
Merah putih yang dikibarkan itu
bukankah pertanda bahwa darah dan tulang kita sama? Bukankah para pendahulu
rela bertaruh merah putih raganya untuk persatuan kita? Semakin lama kutuliskan
coretan ini semakin buat bingung dan bertanya , aku ini siapa? Kamu ini siapa?
Sudahlah!
Bangsa ini masih memiliki nafas,
masih dapat hidup lama, tak usah cari apa obat untuk mengobati lukanya, cukup kamu
perbaiki hubunganmu dengan Tuhan dan rakyat, lukanya akan sembuh dengan sendiri
karena kita bukan bangsa yang terluka!
Bangsa ini
dipertaruhkan dengan hidup, dijihadkan atas nama agama karena bangsa ini adalah
bangsa pemenang, bangsa ini suci dan pastinya bangsa ini adalah titipan yang
memiliki fitrah yang harus dijaga.